Kumpulan kisah dari mahasiswi galau.. percaya atau tidak hanya dirinya yang tahu dan Tuhan yang tau hatinya.. HIDUP KEGALAUAN...
You're Beautiful, INg

내가 이쁘다고 ...:)
My Songs
Sabtu, 21 Agustus 2010
KARMA
Suatu hari ketika aku dan vokalis brutalku selesai melepaskan gairah, aku bertanya padanya sambil jariku menelusuri tato garuda di dada kirinya.“ sayang…kalo kamu mau, aku tinggalkan mas pram malam ini juga “Vokalis brutalku tidak menjawab, dia menjawabnya dengan memeluku erat-erat lalu…ehm…ehm…, ga usah di terangin apa yang terjadi selanjutnya. Sikapnya yang seperti itu ga bikin aku bt, aku senang bersamanya, melanggar norma-norma, mabuk bersama, teriak-teriak di kamar mandi bersama. Hidup adalah kebebasan, diri kita adalah gumpalan daging yang bebas, tanpa aturan. Kalau ada orang yang marah karena pemikiran kami ini, terserah…..yang penting kami ga menyakiti orang lain, yang penting senang. Seperti waktu aku putuskan untuk aborsi, aku biasa-biasa saja. Daripada bayi ini lahir ke dunia dengan ayah ibu yang ga jelas, lebih baik kami mengirimnya ke surga. Ga usah bayiku merasakan putus cinta, ikutan demo nentang Negara, atau bikin documenter ke daerah-daerah rawan. Vokalis brutalku setuju-setuju aja, walaupun dia agak sedih waktu dokter aborsi bilang janinnya laki-laki. Dia pengen banget punya anak laki-laki, katanya buat gantiin pemain bassnya yang bego.
Ketika akhirnya aku resmi tunangan, aku benar-benar ga berhubungan dengan orang lain lagi, tidak sedikitpun termasuk dengan vokalis brutalku. Ngga deeng..pernah sekali, sekali doang aku menemuinya di belakang panggung, tadinya mau say hello aja, eh malah ciuman di balik tirai hitam, ehm…aku yang memutuskan ciuman itu ko, karena tangannya udah menggerayang ke mana-mana. Tapi kita ga ngelakuin itu ko, aku kan udah tunangan, yang katanya udah mulai terikat ma mas Pram.
Kembali lagi sama tunanganku, mukanya jadi merah, eh..dia nangis waktu aku menceritakan semuanya, sejujur-jujurnya. Aku kira aku akan dapat hadiah kecupan lembut di pipi atas kejujuranku ini, malah dia menamparku dengan kemarahan yang..wah..susah dijelaskan! Aku heran, ko ga sama ya dengan omongan guru agamaku di SMU, bahwa jadi orang jujur itu bagus, dapat pahala, hidup tenang. Pagi-pagi sekali ibu bapak mas Pram datang ke rumah. Walaupun raut wajah mereka tenang, tapi warna merah yang membayangi wajah mereka sukar disembunyikan. Katanya..mereka mewakili mas Pram untuk membatalkan pernikahan, tunangan denganku. Papa mamaku kaget dan mukanya jadi merah juga. Sedetik setelah mantan calon mertuaku pamit, orangtuaku segera mengetuk pintu kamarku dengan keras. Sebenarnya aku masih ngantuk, tapi tetap aku hadapin orangtuaku tersayang ini.
Papa menghardikku dengan keras, mama sambil mencak-mencak berbicara tentang agama dan norma-norma. Aku kurang jelas mama ngomong apa, karena ngomongnya sambil nangis sih. Hari ini aku di kamar sendirian, adikku satu-satunya, laki-laki ga mau bertegur sapa denganku, ada apa ini ? apa salahku ? Mas Pram datang juga ke rumah, tapi diam aja, aneh banget ngapain datang kalau Cuma diem aja. Tiba-tiba dia bilang kalo dia menjaga “kehormatannya” untuk aku, tapi kenapa aku malah menghianati dia?
Aku diam aja, abisnya ga ngerti apa yang diomongin dia. Maksudku, aku bakalan setia kalo udah nikah, gampang kan.....clear masalah. Tapi lama-lama aku bosan ngobrol ma Mas Pram, kalo mau mutusin tunangan, ya udahlah……do it now! aku cape di nasehatin terus, please deh…..kalo mau cari yang masih perawan, cari aja, apa mesti aku operasi selaput dara? Lama-lama aku muak dengan pria bego yang satu ini. Akhirnya aku tinggalin dia nangis-nangis di sudut rumah, aku dandan gaya gothic dan nelpon vokalis brutalku. Aku kangen……mau ketemu nih! Mas Pram pengen tau aku mau kemana, mama teriak-teriak nanya aku mau kemana, papa lagi dikantor jadi ga bisa teriakain aku. “ Ada apa siiiiiiiih?!”
Ribet amat berurusan dengan orang yang mengklaim dirinya normal. Eh, vokalisku masih tidur, jam 4 sore nih sayang……! Iiih! Aku dipeluknya, kangen. Dia ok ga pernah nanyain tunangan, norma-norma, ga ada nasehat. Dia sangat pengertian dibalik keacuhannya. Aku cium bibirnya yang pink, masih bau alkohol, aku cium lagi, asyik! Dia balas, berciuman, berpelukan, berzinah, berdosa besar!!!!! Seminggu aku ga pulang-pulang, berduaan di rumah vokalis brutalku, aku senang, aku mencintainya tulus. Aku dicariin deh, terpaksa pulang karena mama lapor polisi. Aku ga boleh keluar rumah, dikunci dikamar, terpaksa aku lari lewat jendela, mereka lupa ga gembok jendelaku. Kembali kepelukan kekasihku. Vokalisku kasihan lihat aku, terus dia mandi, ganti baju bersih, eh…dia cakep banget, kulitnya putih, rambutnya pirang, hidungnya mancung, anaku pasti ok kalau dia papanya he…he…Dia ajak aku pulang, didepan mama-papa dia lamar aku dengan sungguh-sungguh. Papa mama menolak mentah-mentah. Ya sudah aku kabur lagi. Kali ini aku lebih cinta sama vokalis brutalku, akhirnya aku hamil, ga aborsi. Kami bilang mama papa, mereka nyerah, kami dinikahkan syah. Tapi papa mama ga tau kalau vokalisku ini beda agama, kita senbunyiin biar cepet dinikahin. Sekarang….., anak kami sudah 17 tahun dan cantik sekali. Vokalisku masih brutal tapi punya pekerjaan. Aku lagi pusing karena anak perempuanku kabur dari rumah udah seminggu, tunangannya sampe nangis-nangis minta dicariin. .The End.
Jumat, 20 Agustus 2010
Kota Kelamin
Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.
Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.
Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku berulang-ulang.
Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.
Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.
Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak juga mengomentari.
Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.
Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.
Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.
Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
***
Sudah lama aku tak bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu. Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.
Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.
Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.
Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.
Samar-samar kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.
Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.
Aku mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat selama ini?
Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.
Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.
Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.
Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?
Tak kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.
Matanya menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati. ***
untuk Hudan Hidayat yang ’takkan pernah sembuh’
Jakarta, 1 September 2005
Tentang Pengarang
Mariana Amiruddin, Magister Humaniora Kajian Wanita Universitas Indonesia. Kini bekerja sebagai Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan
dan Manager Program Yayasan Jurnal Perempuan. Bukunya antara lain Perempuan Menolak Tabu, Beyond Feminist dan novel berjudul Tuan dan Nona Kosong bersama Hudan Hidayat.
DESA PENGLIPURAN



Jadi ini sedikit info tentang Desa Adat Penglipuran.
Sangat unik mungkin itu kata yang paling tepat untuk desa adat penglipuran. Corak pintu gerbangnya atau yang disebut dengan “angkul angkul” terlihat seragam satu sama lainnya. Penampilan fisik desa adat juga sangat khas dan indah. Jalan utama desa adat berupa jalan sempit yang lurus dan berundag undag. Potensi pariwisata yang dimiliki oleh desa adat penglipuran adalah adatnya yang unik serta tingginya frekuensi upacara adat dan keagamaan.
Meski desa adat penglipuran saat ini sudah tersentuh modernisasi yakni perubahan kearah kemajuan namun tata letak perumahan di masing masing keluarga tetap menganut falsafah Tri Hita Karana. Sebuah falsafah dalam agama Hindu yang selalu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, serta manusia dengan Tuhan.
Generasi muda penglipuran yang hampir seluruhnya menikmati pendidikan formal mulai dari SD hingga perguruan tinggi, tetap melestarikan tradisi yang mereka warisi dari para leluhurnya. Bangunan suci yang terletak di hulu, perumahan di tengah dan lahan usaha tani di pinggir atau hilir.
Rumah masing masing keluarga hampir seragam mulai dari pintu gerbang, bangunan suci(merajan) dapur, tempat tidur, ruangan tamu, serta lumbung untuk menyimpan padi. Antara satu rumah dengan rumah lainnya, terdapat sebuah lorong yang menghubungkannya sebagai tanda keharmonisan mereka hidup bermasyarakat. Pintu gerbang yang memiliki bentuk yang seragam terletak di sisi timur dan barat serta berhadap hadapan satu sama lainnya. Tembok pekarangan tepatnya dibuat dari tanah liat dengan bentuk dan warna seragam. Bahan baku bamboo untuk atap angkul angkul tersedia dalam jumlah banyak karena tumbuh subur di desa adat penglipuran. Desa adat penglipuran mempunyai hutan bamboo yang cukup luas dengan sekitar limabelas macam bamboo yang dapat dijadikan sebagai jalur hiking. Keadaan hutan yang masih alami/ menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk mengunjunginya. Sangatlah tepat jika desa adat penglipuran dijadikan sebagai desa tujuan wisata. Desa wisata semakin populer belakangan ini sebagai alternatif dari pariwisata konvensional.
Sampai saat ini desa wisata penglipuran ramai dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Tak jarang, mereka yang datang adalah dari kalangan ilmuwan serta mahasiswa yang tertarik untuk melakukan penelitian di desa adat penglipuran. Desa adat penglipuran tepatnya berada di Kelurahan Kubu Kabupaten Bangli/ kurang lebih 45 km dari kota Denpasar. Apabila ditempuh dengan kendaraan bermotor akan menempuh kurang lebih satu jam perjalanan. Terletak di ketinggian 700 diatas permukaan laut, menjadikan udara di desa adat penglipuran tergolong dingin. Keasrian desa adat penglipuran dapat dirasakan mulai dari memasuki kawasan pradesa. Balai masyarakat dan fasilitas kemasyarakatan serta ruang terbuka pertamanan, semakin menambah keaslian alam pedesaan. Desa adat penglipuran merupakan satu kawasan pedesaan yang memiliki tatanan spesifik dari struktur desa tradisional. sehingga mampu menampilkan wajah pedesaan yang asri. Penataan fisik dan struktur desa, tidak terlepas dari budaya masyarakatnya yang sudah berlaku turun temurun.
Areal pemukiman serta jalan utama desa adat penglipuran adalah areal bebas kendaraan terutama roda empat. Keadaan ini, semakin memberikan kesan nyaman bagi para wisatawan yang datang. Kata penglipuran berasal dari kata penglipur yang artinya penghibur, karena semenjak jaman kerajaan , tempat ini adalah salah satu tempat yang bagus untuk peristirahatan. Selain itu, menurut masyarakat kata penglipuran juga dipercaya berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti sebagai tempat yang suci untuk mengingat para leluhur.
Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani dan kini mereka mulai beralih ke usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga.Dengan memanfaatkan bamboo sebagai bahan bakunya/ menjadikan desa penglipuran sebagai komunitas yang unik diantara kemajuan pulau dewata yang semakin pesat. Sesuai dengan kosep yang ada, desa adat penglipuran dibagi menjadi tiga bagian yaitu bangunan suci yang terletak di hulu/ perumahan di tengah, dan lahan usaha tani di pinggir atau hilir. Di Pura Penataran/ masyarakat desa adat penglipuran memuja Dewa Brahma manifestasi Ida Sang Hyang Widi sebagai pencipta alam semesta beserta isinya.

(http://kemoning.info/blogs/?p=1075)