You're Beautiful, INg

You're Beautiful, INg
내가 이쁘다고 ...:)

My Songs


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com

Selasa, 09 Juli 2013

“TERSENYUM” -Yunitha K.A.B-


Pagi ini seperti biasa aku duduk di meja biasa  dipojok beranda lantai dua di salah satu restoran fast food yang bermaskotkan kakek-kakek berjenggot di sekitar kampusku. Seperti biasa pula aku memesan hazelnut coffee dan doughnut cinnamon sebagai tambahan dari makananku. Aku duduk sendiri menikmati santap pagiku, belum terlalu banyak pengunjung restoran ini datang sehingga aku bisa leluasa duduk dan memperhatikan kendaraan yang lewat. 
Hari yang biasa, makanan yang biasa, dengan tempat duduk yang biasa. Monoton. Ya, memang monoton dan datar bagi pengangguran macam diriku yang hanya terikat oleh skripsi dan bimbingan. Aku hanya bertemankan smartphone dan laptop sepuluh inch-ku memanfaatkan fasilitas wi-fi gratis di restoran ini.
Kemalasanku adalah enggan untuk menghubungi dosen pembimbingku. Ah, biasalah penyakit mahasiswa tingkat akhir. Tapi, bila mengunjungi restoran ini aku tidak masalah sama sekali lebih nyaman dari bimbingan. Setiap membuka laptop yang aku lihat hanyalah music video boyband Korea Selatan seperti Shinhwa, Super Junior, Teen Top, 100%, B1A4, BEAST, 2AM, SHINee, dan bila kalian ingin memintaku menyebutkan satu persatu boyband apa saja yang aku sukai akan kusebutkan dengan senang hati, tapi tidak untuk membahas tentang skripsiku.
Pagi ini mendung bergelayut manja, memberi harapan kepada orang-orang apakah akan turun hujan atau tidak. Awan di langit saja galau apalagi aku.
Baru saja aku bahas tentang akan turun hujan atau tidak, sepertinya sang awan tersinggung  seakan dapat membaca pikiranku sehingga mereka mulai mengguyur tanah dan orang-orangpun berlarian mencari tempat untuk berteduh.
“Halo, sedang sendiri?” tiba-tiba seorang pria datang menghampiriku. Dia tersenyum kepadaku, manis. Aku melihat keseliling masih ada banyak meja yang kosong, tapi mengapa pria manis ini menghampiriku.
“Boleh saya duduk disini?” lanjutnya, “Saya sendirian datang kesini dan sedang bosan, saya juga sedang mencari teman untuk mengobrol.”
Akupun hanya mengangguk. Aku bukan tipe orang yang mudah bergaul, aku akui bila aku memiliki teman yang sedikit. Aku lebih suka sendiri menikmati duniaku. Apabila ada orang baru aku sangat susah untuk beradaptasi. Saat inipun aku merasa canggung dengan adanya kehadiran pria ini di hadapanku. Tapi, mungkin aku coba saja untuk menambah teman.
“Iya, silakan duduk. Tapi mungkin saya akan menjadi orang yang membosankan.” Jawabku.
Dia hanya tersenyum kemudian menarik kursi dihadapanku.
“Oh, maaf. Saya Daniel, kamu siapa?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya kepadaku.
“Saya Hyori.” Jawabku sambil membalas uluran tangannya.
“Maaf, bukannya sok kenal dan sok akrab. Saya memang lagi bosan dan sengaja mencari teman ngobrol, nampaknya seru kalau bisa mengobrol dengan orang baru.”
“Iya, tidak masalah.” Hanya itu yang bisa jawab, aku bingung untuk memulai percakapan dari mana, “Maaf bila aku membosankan, aku tidak terlalu bisa bergaul.” Tambahku.
Dia hanya tersenyum mendengar jawabanku, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Mungkin saja dia merasa aku aneh atau memang aku membosankan. Aku sama sekali tidak bisa membaca maksud dari senyumnya. Aku hanya bisa menunduk dan hanya mengaduk kopiku yang sudah dingin.
Hanya diam  diantara kami berdua. Hanya diam dengan suasana canggung ini yang aku atau mungkin dia rasakan dan sama sekali tidak akan membantu untuk mencairkan suasana kami saat ini. Toh, kami pun baru berkenalan hari tidak salah apabila hanya diam yang dapat kami lakukan.
“Hyori,” panggilnya menyapu keheningan diantara kami berdua, aku hanya mendongakan kepalaku dan menatap pria manis dihadapanku ini.
“nama kamu unik. Kamu keturunan Jepang?” tanyanya.
“Bukan. Sama sekali tidak ada keturunan Jepang atau negara manapun. Namaku aneh?” jawabku.
“Unik. Nama kamu unik dan saya suka nama kamu.”
Kami pun kembali bertemu dengan keheningan, menurutku dia sedang berpikir apa yang harus ditanyakan kepadaku sama seperti aku. Pokoknya bukan salahku bila situasinya hanya diam seperti ini. Dari awal aku sudah katakan bahwa aku adalah orang yang membosankan. Saat inipun aku sama sekali tidak tahu bagaimana ekspresi wajahku menghadapi pria ini.
Dering ringtone dari ponselnya memecahkan keheningan diantara kami berdua. Daniel menatapku seakan meminta aku untuk mengijinkannya menerima panggilan tersebut dan aku mengangguk menyetujui. Kemudian dia menjawab teleponnya masih dihadapanku, dia tidak beranjak kemanapun. Nampak dari pembicaraannya Daniel harus pergi menemui orang yang menghubunginya, bukannya menguping tapi bukan salahku bila dia berbicara dengan suara yang dapat terdengar olehku.
“Maaf. Saya harus pergi. Senang bisa berkenalan denganmu, Hyori. Sampai ketemu kembali lain waktu.” Pamitnya sambil menjabat tanganku, aku tidak menjawab hanya menganggukkan kepalaku. Aku merasa sedikit tenang Daniel bisa pergi dari hadapanku, setidaknya aku tidak merasa terbebani atas kecanggunganku. Bisa saja aku tidak bertemu dengannya lagi.
Aku melihat ke bawah dari tempat dudukku, kasihan juga melihat Daniel harus basah karena air hujan yang belum berhenti. Seakan tahu aku melihatnya, Daniel menoleh dan tersenyum kepadaku. Arti senyumnya adalah kami pasti akan bertemu lagi, suatu saat nanti. Aku hanya dapat membatin dan tersenyum memikirkan isi pikiranku. Daniel berbalik dan kemudian benar-benar pergi dari hadapanku.
Melihat arloji ditangan kiriku sama sekali tidak terasa jam sudah menunjukan pukul duabelas lebih lima. Berarti aku sudah tiga jam duduk disini, saatnya aku harus merapihkan barang bawaan yang sudah aku keluarkan dari tasku dan aku pulang. Saat aku membereskan barang-barangku kedalam tas ada secarik kertas di bawah tas laptopku. Aku buka lipatan kertasnya dan membacanya.
Senang aku bisa mengetahui namamu. Aku benar-benar berharap bisa bertemu lagi denganmu untuk dapat mengobrol dengan santai denganmu. Aku ingin bisa bersahabat denganmu, Hyori.
Daniel.
Aku hanya terdiam dan melipat kembali kertas itu kemudian memasukannya kedalam tasku. Akupun berharap agar kami bisa bertemu lagi. Saat menuju pintu keluar aku melihat ada pelayan restoran yang melihat ke arahku, dia kemudian tersenyum dan menundukkan kepalanya memberikan salam dan terima kasih pada kunjunganku di restoran ini.

*****

Beberapa hari kemudian setelah aku bimbingan aku tidak langsung pulang ke rumah, aku mendatangi restoran cepat saji dengan wajah besar sang kakek berjanggut menggunakan dasi pita di kerah bajunya. Aku sedikit kesal karena tempat duduk yang biasa aku tempati sudah didahului orang lain. Akupun memilih duduk di pojokan yang sama sekali jauh dari beranda. Kenapa di beranda? Aku suka memperhatikan kendaraan yang lalu lalang di jalan, juga aku suka melihat orang-orang yang berjalan.
Aku membuka laptopku berusaha untuk membuat revisi skripsiku, namun nampaknya otak dan tanganku tidak bisa berkoordinasi dengan baik. Kembali aku melihat music video dari grup favoritku, saat ini aku menonton semua music video dari Shinhwa. Lagu favoritku Perfect Man dari album mereka yang keempat. Memang benarkan aku bersemangat bila membahas tentang hal yang berhubungan dengan Korea. Saat inipun aku mempelajari bahasa dan tulisan Hangeul atau huruf Koreanya.
“Selamat siang Hyori, boleh saya duduk disini?” saat aku mendongakan kepalaku aku melihat orang yang tidak asing dihadapanku. Aku sempat bingung siapa laki-laki ini kemudian aku mengingatnya bahwa laki-laki ini Daniel. Akupun langsung mempersilakannya duduk.
“Terima kasih, Hyori. Saya pikir kamu lupa dengan saya,” katanya membuka percakapan kami. Akupun tersenyum mendengar pernyataannya.
“Nyaris saja aku lupa, maaf ya,”jawabku.
“Wajar bila kamu lupa denganku, karena kita tidak bertemu lagi beberapa hari setelah perkenalan kita waktu itu,”tambahnya.
“Tapi kamu ingat dengan namaku?” tanyaku memecahkan kecanggungan diantara kami berdua setidaknya lebih baik dari saat kami bertemu.
“Namamu unik, karena itu sangat mudah untuk diingat,” jawabnya sambil tersenyum. Bila tersenyum Daniel kelihatan manis sekali.
Meskipun ini pertemuan kedua tetap saja canggung itu masih ada dan selalu saja keheningan mengisi kekosongan diantara aku dengan Daniel. Dia bilang dia mau bersahabat denganku, tapi kenapa dia juga ikut berdiam diri? Apa ini kesalahanku lagi? Tapi, ini sama sekali tidak ada yang salah. Semua wajar apabila kecanggungan itu masih ada meskipun ini pertemuan yang kedua.
“Kamu, kuliah disini ya?” tanyanya membuka keheningan diantara kami berdua, dan lagi-lagi Daniel yang memulai pembicaraan. Aku sedari tadi diam memikirkan pertanyaan apa yang harus aku tanyakan kepada Daniel. Namun aku mengurungkan niatku untuk bertanya aku takut bila pertanyaanku dianggap aneh oleh Daniel. Memang diam adalah cara paling tepat untuk mengatasinya. “Maaf, kamu kuliah disini ya?” ulangnya.
“Oh.. Iya saya kuliah disini. Kamu sendiri bagaimana?” aku merasa tidak enak melamun disaat orang lain sedang bertanya kepadaku. Aku merasa seperti alien dari planet luar. Mungkin kali ini Daniel benar-benar menganggap aku aneh.
“Kamu lagi pusing ya dengan skripsimu? Dari tadi kamu cuma melamun,” dia tersenyum lagi kepadaku, suaranya lembut sama sekali tidak ada rasa kesal didalam nada suaranya. Aku hanya membalas dengan senyuman juga karena aku pikir dia akan marah dan menganggapku bosan.
“Saya bukan mahasiswa disini, saya hanya menumpang meminjam buku di perpustakaan di kampus kamu. Di tempat saya banyak buku yang kurang lengkap karena itu saya kesini.” Jawabnya. Aku hanya menganguk dan kembali memikirkan obrolan apa yang menarik untuk kami berdua.
Terdiam lagi dan hanya terdiam lagi. Padahal aku bisa menanyakan dia kuliah di jurusan apa dan angkatan berapa, tapi bibir ini beku dan terkunci rapat.
“Jangan banyak pikiran nanti kamu kelelahan menghadapi pikiran-pikiran kamu. Lebih baik dicoba untuk diutarakan. Saya senang bila mendengar orang bercerita.” Aku merasa Daniel seperti dapat membaca apa yang aku pikirkan. Apa memang dia bisa membaca pikiran orang lain? Tiba-tiba aku merinding sendiri.
“Maaf saya memang susah untuk bergaul. Saya sering malu bila bertemu dengan orang baru.”jelasku kepadanya. Oh, mungkin sekarang dia tidak akan mau bersahabat denganku. Aku hanya bisa menutup mata sambil menundukan kepalaku.
“Tenang. Untuk apa kamu meminta maaf? Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk bergaul kok. Orang yang introvert memang cocok apabila memiliki partner yang extrovert.” Aku mengangkat kepalaku dan melihat Daniel tersenyum, pikirku dia akan kesal kepadaku. Ada sedikit rasa lega didadaku saat Daniel mengerti apa yang aku rasakan.
Aku bukannya tidak memiliki teman hanya saja temanku lebih banyak perempuan dan itu hanya teman yang sama-sama menyukai Korea. Aku juga punya teman yang sama-sama bimbingan dengan dosen pembimbingku. Tentu saja aku sebut itu teman meskipun aku dengan mereka tidak dekat.
“Terima kasih. Mungkin ini karena pertemuan kita yang kedua, bisa saja kita tidak akan secanggung ini.”
“Saya mengerti kok, Hyori. Hal seperti ini biasa terjadi bila kita berkenalan dengan orang baru.”balasnya. Daniel melihat arlojinya dan kemudian tersenyum kepadaku, “untuk pertemuan kedua ini cukup menyenangkan bagiku. Semoga kita bisa bertemu lagi dan dapat mengobrol lebih banyak. Saya harus pulang dulu. Terima kasih, Hyori.” Pamitnya. Aku hanya membalas dengan mengangguk dan tersenyum kepadanya. Daniel beranjak berdiri dan melambaikan tangannya kepadaku sambil tersenyum akupun membalas melambaikan tangan kepadanya.
Saat Daniel pergi pelayan yang sedang membersihkan meja melihatku, aku tersenyum kepadanya dan dia menganggukan kepalanya. Mungkin awal baru bagiku untuk dapat bergaul dengan orang banyak.

*****

Hari ini aku duduk di meja biasa favoritku dengan menu yang biasa pula. Aku mengerjakan revisi skripsiku sebelum pergi bimbingan. Kepala aku pusing memikirkan harus mengerjakan apa lagi, aku merasa semua sudah tidak ada yang harus diperbaiki lagi. Tapi, mengapa dosen pembimbingku mengatakan pembahasanku harus dipertajam lagi. Kenapa rasanya dibuat susah lagi?
“Hei….” Ada yang menepuk pundakku seperti biasa orang itu adalah Daniel. Ini sudah pertemuan kesekian antara aku dengan Daniel tidak ada rasa canggung lagi diantara kami berbicarapun lebih santai dari sebelumnya, hanya saja kami masih saling belum bertukar nomor telepon seluler kami masing-masing.
“Ya ampun, kamu selalu saja mengagetkanku.” Kataku pura-pura merajuk.
“Maaf… Kamu lebih asik kalau dikagetkan.” Jawabnya sambil memamerkan senyumnya yang manis.
“Hahahaha, aku cuma bercanda kok. Habis dari perpustakaan ya?”
“Iya, biasa penumpang langganan perpustakaan kampus kamu” candanya. “Sudah, kerjakanlah skripsimu, aku mau membaca buku yang aku pinjam dari perpustakaan.” Lanjutnya sambil membuka buku tebal dihadapanku.
Banyak yang telah kami obrolkan, dan tau selera masing-masing. Selera kami sangat berbeda. Aku sangat menyukai Korea dan Daniel lebih menyukai band-band Indonesia. Hal yang paling mengejutkan adalah dia suka adalah God Bless yang aku tahu vokalisnya adalah Ahmad Albar itu juga kalau aku tidak salah. Daniel juga pernah menyanyikan lagu Semut Hitam untukku, aku hanya terdiam dan mulutku menganga aku sama sekali tidak tahu lagu itu. Aku hanya tahu lagu lama Indonesia terakhir aku mengikuti perkembangan lagu Indonesia pada saat aku di sekolah menengah pertama dan saat itu nama band yang aku ingat Peter Pan yang saat ini menjadi Noah, Ungu, dan Netral serta Jamrud.
Selain itu Daniel pernah bilang padaku untuk memulai bergaul dengan orang lain yang dilihat bukan kesamaan kita dengan orang lain, tetapi menjadikan perbedaan sebagai awal untuk memiliki seorang teman. Meskipun pasti ada perbedaan pendapat dari setiap orang, perbedaan itulah yang menjadi pelengkap. Bukan hanya perbedaan suku, bahasa dan warna kulit saja yang membuat orang menjadi memiliki teman, tapi perbedaan dalam kegemaran dapat menjadi awal tumbuhnya rasa memiliki. Begitu yang Daniel bilang kepadaku, selain itu Daniel menasehatiku untuk selalu tersenyum. Sebenarnya bukan hanya Daniel yang menyuruhku demikian tetapi dari orang tuaku dan teman-temanku yang lain.
“Apa yang kamu pikirkan? Katanya mau mengerjakan skripsimu, tapi aku perhatikan kamu hanya diam.” Daniel membuyarkan lamunanku. Aku pun tersadar aku hanya mengetik di paragraf yang sama.
“Aku sedang memikirkan susunan kalimatnya, Niel. Aku juga sedang memikirkan bagaimana caranya mempertajam analisisnya. Apa aku harus bawa batu asah ya supaya bisa tajam?” jawabku.
Daniel hanya tertawa kemudian dia menutup bukunya dan meletakkannya di meja. Kemudian Daniel menggeser kursinya mendekat ke mejaku.
“Sudah bisa bercanda kamu sekarang ya.” Godanya sambil menarik laptopku ke arahnya, “sini aku coba untuk membantu.”
“Memangnya kamu bisa?”balasku menggodanya.
“Aku harus baca dulu, supaya kamu bisa bertemu dengan dosen pembimbing kamu tepat waktu.” Kata Daniel sambil tersenyum. Senyumnyalah yang aku suka. Mungkin senyum itu adalah cerminan hati. Menurutku.
“Terima kasih, Daniel.”
Saat Daniel membantuku mengerjakan skripsi, pelayan restoran ini memperhatikanku. Mungkin pelayan tersebut menyangka Daniel adalah kekasihku, padahal aku sama Daniel hanyalah berteman. Aku hanya tersenyum kepada pelayan yang sedang membersihkan meja di seberang mejaku, dan pelayan tersebut membalas dengan terseyum dan menganggukan kepalanya kepadaku. Kemudian pelayan itu pergi membawa piring yang dia rapihkan ke dapur.
Tiga puluh menit kemudian Daniel selesai membantuku semampunya, karena Daniel kurang menguasai teori pembahasan analisis skripsiku. Setidaknya aku merasa terbantu oleh Daniel. Setelah itu kami merapihkan barang-barang kami untuk segera beranjak dari restoran cepat saji ini. Aku pergi bimbingan Daniel pun pergi ke kampusnya.
Di depan pintu restoran aku bertemu lagi dengan pelayan yang kami temui di atas tadi. Dia tersenyum kepada mai dan kamipun membalas senyumnya.
“Terima kasih. Silakan datang kembali.”sapanya sambil sedikit membungkukan badannya kemudian membukakan pintu restoran itu kepada kami.
Aku dan Daniel berpisah di depan restoran itu aku harus pergi bimbingan, Daniel pergi ke arah yang berlawanan. Kami berpisah sambil melambaikan tangan. Tidak sengaja aku melihat ke belakang, pelayan restoran tersebut masih melihatku. Aneh rasanya dilihat seperti itu, apa memang mungkin dia berpikir aku dengan Daniel sedang berpacaran? Masalahnya ini tidak terjadi sekali atau dua kali, sebelumnya dia juga melihatku seperti itu. Seakan-akan tatapannya penuh pertanyaan untukku. Sudahlah, aku harus bergegas ke kampus.

*****

Nampaknya Daniel hari ini tidak datang lagi di kampusku. Apa mungkin dia sedang ujian tengah semester, karena waktu itu Daniel banyak sekali meminjam buku dari perpustakaan. Sudah seminggu lebih semenjak aku ikut teater aku tidak bertemu dengan Daniel di restoran cepat saji ini. Aku membuka laptopku dan menonton music video dari MBLAQ.
Saat ini aku baru saja mendaftar ke unit kegiatan mahasiswa bidang teater, memang terlambat namun apa salahnya aku mencoba. Aku dulu selalu takut untuk mendaftar, karena aku takut ditolak oleh anggotanya. Namun, ketkutan aku tidak terbukti mereka sangat terbuka dan sangat membantuku. Hari ini aku sedang tidak ada kegiatan apa-apa tidak ada bimbingan juga tidak ada latihan teater.
Aku ke restoran ini selain lapar dan ingin makan makanan favoritku aku ingin bertemu dengan Daniel. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Daniel, banyak cerita yang mau aku ceritakan.
Ada yang menghampiriku, saat aku melihat kearah orang yang menghampiri aku sedikit kecewa karena yang datang bukan Daniel. Melainkan pelayan restoran yang mengantarkan pesananku.
“Ini hcicken fillet pesanannya, mbak. Maaf sudah menunggu lama.” Kata pelayan itu sambil tersenyum, akupun membalas dengan tersenyum.
“Terima kasih ya, maaf merepotkan.” Ujarku.
“Tidak merepotkan, mbak. Ini sudah menjadi kewajiban saya. Saya permisi dulu, mbak. Bila ada yang diperlukan lagi silakan panggil kami. Terima kasih selamat menikmati.”jawabnya kemudian pelayan berbalik dan mengumpulkan nampan dan piring-piring dari meja sebelah.
Seingatku pelayan inilah yang selalu memperhatikan aku. Sebenarnya aku penasaran kenapa dia selalu memperhatikan aku dengan tatapan penuh pertanyaan. Apakah hanya perasaanku saja? Aku mau bertanya tapi apakah tidak dianggap aneh?
Tiba-tiba terngiang ucapan Daniel di kepalaku,
Jangan banyak pikiran nanti kamu kelelahan menghadapi pikiran-pikiran kamu. Lebih baik dicoba untuk diutarakan…”
Lalu aku berdiri menghampiri pelayan tersebut di meja sebelah.
“Maaf mas mengganggu sebentar.” Kataku, pelayan tersebut berhenti mengumpulkan piring-piring dari atas meja tersebut saat aku memanggilnya.
“Ada yang bisa saya bantu, mbak?” tanya sambil tersenyum kepadaku.
“Bisa bicara sebentar, mas? Biar lebih enak mas duduk dulu di tempat duduk saya.” Jawabku.
Pelayan tersebut mengikutiku sampai ke meja makanku, dan aku persilakan pelayan tersebut untuk duduk dihadapanku. Ekspresi wajahnya tersirat ada rasa bingung kenapa tiba-tiba aku memanggilnya.
“Maaf mengganggu perkerjaannya ya, mas. Saya tidak akan lama-lama,” Ujarku membuka percakapan dengannya, pelayan itu bernama Riki saat aku lihat di papan namanya, “mas Riki.” Riki hanya mengangguk mengiyakan.
“Ada apa ya, mbak?” tanyanya.
“Panggil saya Hyori saja, mas Riki.” Kataku sambil tersenyum dan ingin bersikap santai dengannya agar dia bisa kooperatif denganku saat aku tanyakan.
“Iya mbak Hyori..” jawabnya sambil tersenyum.
“Saya mau tanya, selama ini mas selalu bertemu dengan saya. Saya rasa mas Riki selalu melihat saya dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ada apa ya, mas?”tanyaku memberanikan diri langsung kepada masalah yang ingin aku ketahui dari dirinya.
Aku melihat ekspresi wajahnya berubah saat kutanyakan demikian. Berarti dugaanku benar apabila dia memiliki pertanyaan atau hal yang ingin dia ungkapkan kepadaku. Aku sudah cukup tahu dari ekpresi yang ditunjukkan kepadaku saat ini.
“Tenang saja saya tidak akan marah dengan mas Riki, kok,” kataku meyakinkan dirinya.
“Anu, mbak. Maaf sebelumnya bila saya membuat mbak Hyori merasa tidak nyaman. Saya tidak ada bermaksud apa-apa kok mbak.”jawabnya.
Aku hanya tersenyum dan kemudian mengangguk. Aku berusaha untuk tidak menyela pembicaraan dia, setidaknya itu yang aku perhatikan dari Daniel.
“Sebelumnya, saya mau tanya dengan mbak Hyori. Akhir-akhir ini … Lebih tepatnya dau bulan ini mbak berbicara dengan siapa disini?”lanjutnya.
Nah, benar saja dia menyangka Daniel adalah kekasihku. Aku hanya tersenyum kepadanya.
“Dia cuma teman saya, mas. Namanya Daniel dan dia bukan pacar saya. Kami bertemu sebulan yang lalu di restoran ini, mas.”jawabku. Aku melihat ekspresi wajahnya Riki tiba-tiba berubah dan keningnya berkerut seakan-akan dia bingung dengan jawabanku.
“Maaf, mbak. Saya mohon maaf sebelumnya.”ujarnya lagi. Aku bingung kenapa dia mengucapkan kata maaf kepadaku.
“Untuk apa meminta maaf? Semua orang punya cara sendiri kok untuk memulai pembicaraann.” kataku, meniru ucapannya Daniel saat aku bingung mulai bicara dari mana dipertemuan awal kami.
“Tapi, saya benar-benar minta maaf mbak Hyori. Saya memang selalu bertanya-tanya dengan siapa mbak Hyori berbicara selama ini. Karena itu saya selalu merasa saya harus memperhatikan mbak Hyori. Masalahnya orang lain juga sama merasakan apa yang saya rasakan. Saya selalu berusaha untuk menanyakan kepada, mbak. Namun saya urungkan niat saya karena saya takut menyinggung perasaan, mbak.”
Penjelasan Riki membuat aku bingung. Apa hubungan orang lain dengan apa yang aku bicarakan dengan Daniel. Aku merasa tidak ada yang salah dengan obrolan kami dan aku merasa kami tidak mengganggu orang lain.
“Silakan lanjutkan, mas.”
“Jadi, yang saya lihat mbak Hyori itu berbicara sendiri. Tidak ada orang lain yang bersama, mbak Hyori.”

*****

Tentu saja penjelasan yang diberikan oleh Riki membuat aku kaget. Apa maksudnya? Aku ingin marah, seenaknya saja Riki berbicara demikian tentang aku dengan Daniel. Aku ingin marah namun aku berusaha meredam amarahku karena aku berada di tempat umum dan aku tidak ingin membuat aku malu sendiri.
Maksudnya selama ini aku berbicara sendiri dan Daniel tidak bersamaku? Apa dia pikir aku gila? Atau aku berbicara dengan hantu?
“Tolong jelaskan sekali lagi, mas? Saya kurang mengerti maksudnya apa.” tanyaku meminta penjelasanya. Bibirnya Riki bergetar dan menundukan kepalanya.
“Maaf sekali, mbak. Setiap mbak kesini, mbak pasti berbicara sendiri.”jawabnya lagi.
“Maksudnya mas saya berbicaran dengan hantu, begitu?” nada suaraku mulai meninggi dan beberapa pengunjung melihat kearahku. Riki mulai gelisah dan terkesan merasa tidak enak telah mengatakan suatu hal yang sangat mengejutkan bagiku,
Tentu saja ini mengejutkan diriku. Aku hanya bisa terdiam dan merasa aku mulai ingin menangis. Apa selama ini aku berbicara dengan hantu? Daniel yang pertama kali aku temui mungkin Daniel asli tapi dia meninggal pada saat itu.
Apa mungkin senyuman yang diberikan Daniel saat pertemuan pertama waktu itu adalah pertanda untuk ini? Ah… Aku sama sekali tidak mengerti. Apa mungkin orang yang aku kenal sebagai sosok Daniel adalah hantu? Tidak! Tidak mungkin. Apa salahku hingga Daniel menghantuiku seperti ini?
Tapi, dia menyuruhku untuk selalu tersenyum, dia mengajari untuk bergaul dengan orang lain. Karena dia aku memberanikan diri mengikuti teater tanpa paksaan. Walaupun dia hantu dia tidak jahat kepadaku, dia membuatku berubah dan berpikir positif. Tidak! Semuanya salah. Mungkin saja Riki berbohong kepadaku. Apalagi aku tidak bertemu dengan Daniel. Kenapa semua seperti ini? Aku takut bila Daniel itu hantu. Aku takut Daniel itu tidak nyata.
Akhirnya air mata yang aku tahan sudah membasahi pipiku tanpa aku sadari. Riki pun merasa serba salah tahu apa yang harus dia perbuat. Aku bingung mau bertanya apalagi, aku ingin pulang namun kaki ini terasa lemas.
“Apa mas Riki mempunyai indra keenam? Sehingga mas Riki bisa tahu saya berbicara dengan hantu?” tanyaku sambil berusaha untuk lebih kuat. Aku harus menemukan jawabannya semua saat ini, “bila mas Riki bisa melihat hantu, apa mas Riki bisa membantu saya bertemu dengan Daniel? Saya mau minta penjelasan dari dia. Kenapa dia membantu saya. Tolong mas panggil Daniel.” rengekku kepada Riki. Lagi-lagi Riki menunduk dan minta maaf kepadaku.
“Saya bilang jangan minta maaf kepada saya, saya hanya mau minta bantuan supaya saya bisa bertemu dengan arwahnya Daniel.” Isakku.
Aku tahu semua pengunjung melihat ke arahku dan aku juga melihat manajer restoran itupun datang melihat apa yang terjadi. Manajernya ingin memanggil Riki untuk minta penjelasan dari Riki, namun Riki memberi kode kepada manajernya bahwa dirinya bisa mengatasi masalah ini sehingga manajernya tidak jadi memanggil Riki dan meminta maaf kepada pengunjung atas ketidaknyamanan yang terjadi karena ulahku.
Aku tidak peduli, yang aku inginkan adalah penjelasan tentang Daniel. Teman baruku yang membantuku untuk lebih terbuka dan mengajariku tersenyum. Apa dia tau aku selalu sendiri sehingga dia muncul dihadapanku untuk membantuku?
“Maaf, mbak,” Riki mulai membuka suaranya,”saya tidak mempunyai indera keenam ataupun kekuatan spiritual semacam itu. Hanya saja saya tidak sedang membicarakan tentang hantu.” Jawabnya.
“Maksudnya?”
“Selama ini mbak Hyori selalu berbicara sendiri dan kemudian merubah posisi tempat duduk mbak Hyori di posisi yang berlawanan. Mbak Hyori mengulurkan tangan kemudian berpindah tempat duduk kemudian mengulurkan tangan lagi. Begitu pula dengan melambaikan tangan mbak, bicara, dan melakukan hal yang lain bergantian. Karena itu saya dan termasuk orang lain yang berada disini melihat heran kearah mbak Hyori.”
Setelah mendengar penjelasan Riki, aku bergegas membuka tasku dan mencari kertas yang ditinggalkan Daniel disaat pertama kali kami bertemu. Setelah aku baca lagi isi kertas itu aku menjerit dan kemudian aku merasakan pandanganku mulai gelap dan aku tidak ingat ada hal apalagi yang aku alami.
Namun yang aku ingat saat itu di dalam terdapat tulisan isinya adalah,
Senang aku bisa mengetahui namamu. Aku benar-benar berharap bisa bertemu lagi denganmu untuk dapat mengobrol dengan santai denganmu. Aku ingin bisa bersahabat denganmu, Hyori.
Daniel.
Tulisan itu nyata dan memang benar berisi demikian sama seperti pertama kali aku temukan suratnya di atas meja. Namun, yang membuat aku sadar adalah tulisan itu.
Tulisan itu adalah tulisanku sendiri. Aku hanya bisa tersenyum sampai saat ini seperti yang Daniel bilang, aku harus TERSENYUM.

*****

Dama menyeruput coffee latte-nya lagi, itu tegukan ketiganya yang aku hitung selama kami duduk di café  ini dari satu jam yang lalu. Sedari tadi aku bercerita Dama hanya mengangguk, tersenyum dan menulis di buku jurnalnya. Sesekali Dama bertanya namun pertanyaannya aku jawab dengan panjang lebar, aku merasakan mungkin Dama akan bosan mendengar ocehanku.
“Kenapa berhenti? Lanjutkan saja lagi, Hyori.” Katanya dengan lembut.
Hal yang aku senangi dari Dama adalah dia sabar dan dia mau mendengarkan kisahku tentang Daniel, kurasa demikian. Kini aku telah mengenal Dama sudah hampir dua minggu, salah seorang temanku mengajakku ke kantor  Dama. Aku rasa aku cocok berteman dengannya, setiap istirahat makan siang kami selalu makan di luar bahkan Dama pernah merelakan waktu kerjanya hanya untuk bertemu dengannya.
“Dama, sekarang sudah pukul satu. Bukannya kamu harus kembali bekerja?”
Dama melihat arlojinya dan sambil tersenyum kepadaku.
“Benar juga. Aku rapihkan dulu barang bawaanku.”
Dama memulai merapikan berkas-berkas pekerjaan yang dia bawa ke café ini, dia sudah berdiri dan siap untuk pamit kepadaku, “aku duluan ya, Hyori.” Katanya sambil tersenyum.
“Dama…”  panggilku untuk menahannya sebentar, “aku ingin bertanya.”
“Ada apa?”
“Kamu temanku, kan? Maksudku, benar-benar temanku. Kamu nyata, kan? Kamu tidak seperti Daniel?” tanyaku ini adalah pertanyaan yang sama semenjak dua minggu lalu kepadanya.
“Tentu, Hyori. Aku nyata dan aku temanmu yang akan membantumu untuk mendengarkan semua ceritamu sampai kamu bisa mengatasi masalahmu sendiri.” jawabnya sambil tersenyum kepadaku.
“Terima kasih, Dama.”
“Aku permisi dulu ya, Hyori. Bila mau menemuiku hubungi saja aku di hari biasa kita bertemu di jam yang sama.”
Dama bergegas meninggalkan café ini karena harus segera kembali ke kantornya katanya ada klien yang menunggu.. Aku pun harus bergegas kembali ke kampus untuk mengurus persiapan wisuda. Saat membereskan barang bawaanku, aku melihat ada benda warna biru di lantai. Saat kupungut benda itu aku melihat foto Dama. Ternyata itu kartu identitas karyawan Dama, akan segera aku antarkan kepada Dama di kantornya.
Syukurlah kantor Dama tidak terlalu jauh dari café tempat kami janjian. Sekarang aku sudah berada di lobby kantornya. Aku segera menuju meja resepsionis untuk menitipkan kartu identitas Dama karena di tidak ada di kantor setelah aku menghubunginya dia harus bertemu kliennya diluar kantor. Aku enggan untuk masuk ke ruangan Dama, karena terlalu sunyi dan rasanya kurang mengenakan untukku.
“Ada yang bisa saya bantu, mba?” tanya resepsionis kepadaku.
“Saya ingin menitipkan kartu identitas karyawan milik Dama, mbak.”
“Dama?  Nama lengkapnya siapa dan di bagian apa kalau boleh saya tau? Supaya lebih mudah untuk menyimpannya. Kemudian tuliskan nama mbak dan nomor telepon yang bisa untu kami hubungi.” katanya sambil memberikan secarik kertas dan pena kepadaku.
Aku melihat kartu identitasnya, “namanya Dharmayanti Irawan, M.Psi., Psikolog, bagian konseling klinis atau psikiatri, mbak.” jawabku kemudian aku menulis identitasku juga di kertas yang diberikan resepsionis tadi.
Setelah selesai mengembalikan kartu identitas karyaawan aku pergi meninggalkan kantor Dama dan segera kembali ke kampus.


**TAMAT**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar